Bursa Karbon Indonesia untuk Perdagangan Unit Karbon
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan peraturan baru mengenai bursa karbon pada Peraturan OJK No. 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon). Dengan adanya POJK Bursa Karbon, Indonesia menjadi salah satu negara yang telah memiliki bursa karbonnya sendiri. Peluncuran bursa karbon pertama di Indonesia sendiri dilaksanakan pada tanggal 26 September 2023, yaitu Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di bawah naungan Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada tanggal yang sama dilakukan pula perdagangan perdana yang mencatat transaksi sebesar Rp. 29,2 miliar.
Definisi dan Tujuan Bursa Karbon Pada dasarnya, bursa karbon merupakan suatu pasar yang dikhususkan untuk transaksi perdagangan karbon dalam bentuk kredit karbon, izin emisi, atau pengurangan emisi. Praktek yang sering terjadi adalah pihak penjual merupakan pelaku usaha yang mendapatkan izin emisi untuk batas emisi tertentu, namun berhasil mengurangi emisinya di bawah batas tersebut. Pelaku usaha tersebut dapat menjual emisi berlebih yang mereka miliki kepada pelaku usaha lainnya yang emisinya melebihi batas yang ditetapkan. Dengan demikian, masing-masing pelaku usaha diuntungkan dengan adanya bursa karbon ini.
Tujuan diadakannya bursa karbon adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi dampak perubahan iklim, serta mendorong perkembangan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan adanya bentuk ‘insentif ekonomi’ yang diberikan kepada pelaku usaha yang menjual karbon. Sehingga, keberadaan bursa karbon diharapkan dapat mendorong mereka untuk terus mengurangi emisi karbonnya dengan menggunakan teknologi dan cara-cara produksi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Tujuan ini juga sejalan dengan salah satu visi yang hendak dicapai oleh Indonesia, yaitu Net Zero Emission.
Pengaturan Bursa Karbon di Indonesia Bursa karbon dalam peraturan perundang-undangan awalnya ditemui dalam Bagian Ketiga dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Ketentuan yang hanya disusun dalam 4 pasal (Pasal 23-26) ini menjadi dasar bagi OJK untuk membuat suatu peraturan mengenai bursa karbon. Perwujudan dari amanat UU P2SK tersebut tampaklah dalam POJK Bursa Karbon.
Di POJK Bursa Karbon sendiri, diatur bahwa perdagangan karbon di bursa karbon dilakukan dalam bentuk Unit Karbon. Unit Karbon yang berupa Efek ini terdiri atas Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca ("SPE-GRK") dan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha ("PTBAE PU"). Unit Karbon yang hendak diperdagangkan pada bursa karbon harus terlebih dahulu dicatatkan pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
Jika dibandingkan dengan praktek negara lain, SPE-GRK pada prinsipnya serupa dengan carbon offset. Carbon offset sendiri merupakan kondisi di mana pelaku usaha berhasil mengurangi emisi, misalnya dengan menanam pohon, dan ia mendapatkan sertifikat carbon offset yang dapat ia perjualbelikan. Cara kerja dari perdagangan carbon offset adalah pembeli dapat menurunkan ‘jejak karbon’-nya dengan membeli carbon offset dari penjual. Nantinya, hasil penjualan carbon offset akan digunakan sebagai bentuk pembiayaan untuk mendukung praktik pengurangan emisi yang dilakukan oleh penjual.
Di lain sisi, PTBAE-PU memiliki kemiripan dengan emission cap trading yang pada prinsipnya memperjualbelikan batas emisi dari suatu perusahaan yang tidak mencapai batas emisi ke perusahaan yang emisinya melebihi batas. Emission cap trading merupakan bentuk perdagangan karbon yang lebih dikenal secara umum. Namun, karena berpatokan pada batas atas atau cap, maka skema PTBAE-PU akan sulit untuk diterapkan jika belum ada peraturan yang jelas mengenai batas atas emisi dari setiap sektor. Tanpa adanya batas atas, maka tidak akan ada paksaan bagi pelaku usaha untuk mengikuti skema PTBAE-PU.
Sebagai solusi untuk mendorong skema PTBAE-PU, harus ada pengaturan yang menyeluruh mengenai batas atas emisi dari sektor-sektor yang ada di Indonesia. Untuk saat ini, batas atas emisi baru ada pada sektor listrik yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022. Solusi alternatif lainnya, Indonesia kini tengah mempersiapkan skema Pajak Karbon di tahun 2026 untuk menjerat pelaku-pelaku usaha yang emisi karbonnya melebihi batas. Dengan dibenahinya kedua bentuk solusi ini, maka praktik bursa karbon di Indonesia akan menjadi lebih terdorong dan cita-cita Net Zero Emission akan semakin dekat pencapaiannya, sebagaimana ditargetkan pada tahun 2060.
Persyaratan Penyelenggara Bursa Karbon dan Pengguna Jasa Bursa Karbon POJK Bursa Karbon juga banyak mengatur mengenai persyaratan Penyelenggara Bursa Karbon. Lebih lanjut, persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bursa karbon diatur dalam Surat Edaran OJK No. 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. Persyaratan yang perlu diperhatikan oleh Penyelenggara Bursa Karbon yaitu: 1. Menggunakan sistem elektronik; 2. Wajib menyediakan sistem perdagangan yang mencakup pertemuan penawaran jual-beli Unit Karbon dan penyelesaian transaksi Unit Karbon; 3. Dilarang menjadi Pihak yang bertransaksi; 4. Berbentuk PT dengan modal disetor minimal Rp100 miliar; 5. Pemegang saham asing maksimal 20% kepemilikan; 6. Wajib memiliki minimal 2 anggota Direksi dan 2 anggota Dewan Komisaris yang memenuhi standar kemampuan dan kepatutan; 7. Memenuhi ketentuan operasional, salah satunya adalah membuat peraturan Penyelenggara Bursa Karbon mengenai pengguna jasa, Unit Karbon, perdagangan, dan pengawasan; 8. Pengawasan Bursa Karbon dilakukan oleh OJK; 9. Persyaratan dan tata cara perizinan yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Bursa Karbon; dan 10. Kewajiban menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan untuk disetujui OJK.
Sebagai satu-satunya Penyelenggara Bursa Karbon saat ini, BEI telah memenuhi salah satu kewajibannya untuk membuat peraturan Penyelenggara Bursa Karbon yang tampak dalam SK Direksi PT BEI No.Kep-00297/BEI/09-2023. Dalam peraturan ini, BEI mengatur mengenai beberapa hal, di antaranya jenis pasar dan juga tata syarat Pengguna Jasa Bursa Karbon.
Pasar dalam Bursa Karbon Indonesia terdiri atas Pasar Reguler, Pasar Negosiasi, Pasar Lelang dan Pasar Non-Reguler. Pengguna Jasa Bursa Karbon harus berupa badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Adapun Pengguna Jasa Bursa Karbon terdiri atas: 1. Pelaku Usaha Pedagang Emisi (dapat melakukan penjualan dan pembelian PTBAE-PU dan SPE-GRK). 2. Pelaku Usaha Non-Pedagang Emisi (dapat melakukan penjualan dan pembelian SPE-GRK). 3. Pemilik Proyek (dapat melakukan penjualan SPE-GRK hanya pada Pasar Lelang dan Pasar Non-Reguler).
Adapun dokumen yang perlu dipersiapkan pelaku usaha yang hendak bertransaksi di Bursa Karbon Indonesia sebagai Pengguna Jasa adalah: 1. Sertifikat pelatihan terkait Bursa Karbon yang diadakan oleh Penyelenggara Bursa Karbon; 2. Bukti pembayaran biaya pendaftaran (Rp. 5.000.000) sebagai Pengguna Jasa; 3. Laporan keuangan minimal 1 tahun terakhir; 4. AD PT, NPWP, dan NIB (untuk badan hukum Indonesia) atau legal entity identifier dan bukti daftar di Regulatory Oversight Committee (untuk badan hukum asing).
Kesimpulan: Perdagangan Unit Karbon tentunya sangat mendukung pemangku kepentingan untuk mengurangi emisi udara melalui Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE PU) yang didaftarkan, diselenggarakan dan diawasi oleh IDXCarbon dan OJK.
Click DOWNLOAD PDF to read the English version of this Article