Simak! Berikut Syarat Teknis Standar Industri Hijau Untuk Industri Produk Makanan Ringan
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Industri Produk Makanan Ringan adalah industri dengan kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 10710 yang mencakup usaha pembuatan kukis, cracker, dan kue kering baik yang manis maupun asin. Dalam proses pembuatannya, produksi industri produk makanan ringan menggunakan sumber daya energi yang besar, sehingga penting adanya standar operasional yang jelas. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya untuk menyelaraskan dengan pembangunan industri dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, Pemerintah melalui Menteri Perindustrian menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2022 (Permenperin 39/2022) Tentang Standar Industri Hijau Untuk Industri Produk Makanan Ringan.
Berikut pesyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk makanan ringan: 1. Aspek Bahan Baku Sumber bahan baku yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk makanan ringan adalah: a. Sumber Bahan Baku Utama Sumber Bahan Baku Utama seperti tepung terigu dan gula harus diperoleh dari sumber yang legal yang dapat berasal dari sumber internal (lokal) maupun eksternal (impor). Verifikasi dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, catatan data, dan bukti pendukung yang terkait, meliputi pemeriksaan bukti/ sertifikat asal bahan baku dari dalam negeri dan/atau impor yang masih berlaku.
b. Sumber Bahan Baku Penolong Sumber Bahan Baku Penolong seperti shortening, air, flavor, garam, minyak, food additives (emulsifier, pewarna, pengembang, vitamin dll), telur, powder, susu, seasoning, filler, kacang, desiccated coconut dan cocoa powder harus diperoleh dari sumber yang legal dan halal. Sedangkan untuk metode verifikasinya dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, catatan data, dan bukti pendukung yang terkait, meliputi pemeriksaan bukti/ sertifikat halal asal Bahan Baku.
Penanganan bahan baku utama dan bahan baku penolong dilakukan dengan SOP dalam prosedur penanganan masing-masing bahan yang dijalankan secara konsisten. Optimasi dan minimasi penggunaan bahan baku merupakan elemen terpenting dalam penerapan konsep Industri Hijau di industri. Penggunaan bahan baku secara efisien akan berdampak positif terhadap pengurangan biaya produksi sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dalam pembuatan Produk Makanan Ringan, penggunaan air cukup signifikan sehingga dimasukan ke dalam perhitungan rasio produk terhadap pemakaian Bahan Baku Utama dan Bahan Baku Penolong.
2. Aspek Energi Aspek Energi yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk makanan ringan adalah: a. Konsumsi energi listrik spesifik Energi listrik dapat berasal dari Perusahan Listrik Negara (PLN) maupun pembangkit listrik sendiri yang berbahan bakar fosil seperti bahan bakar minyak (BBM), batu bara, gas alam, dan sejenisnya. Konsumsi energi listrik spesifik diatur maksimum 218 kWh/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan penggunaan energi listrik pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan melakukan pemeriksaan produksi riil pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir. b. Konsumsi energi panas Energi panas adalah energi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar untuk menghasilkan steam, tetapi tidak termasuk energi panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar untuk menghasilkan listrik pada pembangkit listrik sendiri. Konsumsi energi panas spesifik diatur maksimum 2,65 GJ/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan penggunaan energi panas pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan melakukan pemeriksaan produksi riil pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir.
3. Aspek Air Konsumsi air spesifik diatur maksimum 0,25 m3/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan penggunaan make-up/fresh water pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan melakukan pemeriksaan produksi riil pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir.
4. Aspek Proses Produksi Proses produksi harus dilakukan dengan peralatan yang dinyatakan sesuai dengan standar OEE (Overall Equipment Effectiveness) minimum 75% dari total peralatan. OEE adalah matriks yang mengidentifikasi persentase waktu produktif dari keseluruhan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan aktifitas produksi. Komponen perhitungan OEE mencakup: a. Availability Index (Al), yaitu waktu produksi aktual dibandingkan dengan waktu produksi yang direncanakan. Nilai Availability Index 100% menunjukkan bahwa proses selalu berjalan dalam waktu yang sesuai dengan waktu produksi yang telah direncanakan (tidak pernah ada down time). Waktu produksi yang direncanakan telah dikurangi dengan down time yang direncanakan b. Production Performance Index (PPI), yaitu tingkat produksi sebenarnya dibandingkan dengan tingkat produksi yang terbaik (ideal run rate) c. Quality Performance Index (QPI), yaitu kualitas produk sebenarnya dibandingkan dengan target kualitas. Hal ini berkaitan dengan jumlah produk gagal (defect) dan produk sisa (scrap). Nilai 100% untuk Quality Performance Index menunjukkan bahwa produksi tidak menghasilkan produk cacat sama sekali. Produk cacat adalah produk yang tidak memenuhi target kualitas yang tidak dapat di-recycle atau di-reuse ke dalam proses produksi.
Metode verifikasi yang dilakukan dengan memperhatikan waktu produksi yang direncanakan dan waktu produksi aktual pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir, produksi riil dan Good Product pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan ideal run rate kinerja peralatan.
5. Aspek Produk Spesifikasi produk wajib memenuhi SNI 2973:2018 Biskuit atau revisinya atau permintaan konsumen. Metode verifikasi dengan pemeriksaan data dokumen SPPT SNI biskuit yang masih berlaku, hasil uji parameter yang sesuai dengan SNI 2973:2018 Biskuit atau revisinya oleh laboratorium yang terakreditasi ISO 17025 pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan/atau dokumen permintaan khusus dari konsumen.
6. Aspek Kemasan Kemasan untuk Prociuk Makanan Ringan terdiri dari kemasan primer dan kemasan sekunder. Kemasan primer adalah kemasan yang langsung bersentuhan dengan produk seperti plastik, sedangkan kemasan sekunder adalah kemasan yang tidak langsung bersentuhan dengan produk seperti karton. Limbah dari pemakaian material kemasan telah disepakati menjadi salah satu parameter penentu untuk mencapai industri hijau. Limbah dari pemakaian kemasan primer maksimum 3% sedangkan kemasan sekunder maksimum 1%. Metode verifikasi dilakukan dengan perhitungan waste packaging selama 12 (dua belas) bulan terakhir.
7. Aspek Limbah Pengelolaan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan. Oleh sebab itu, industri perlu memiliki sarana pengelolaan limbah yang sesuai dengan jenis limbah yang dihasilkan. Pengelolaan limbah harus berdasarkan izin pengelolaan limbah B3/Persetujuan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan diserahkan pada pihak ketiga yang memiliki izin Pengelolaan Limbah B3/Persetujuan Teknis Pengelolaan Limbah B3. Metode verifikasi akan dilakukan dengan memeriksa keberadaan dan operasional (berfungsi atau tidak) sarana pengelolaan limbah B3 dan izin pengelolaannya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Aspek Emisi Gas Rumah Kaca Kegiatan industri merupakan salah satu penyumbang ermsi gas rumah kaca (GRK) di antaranya emisi C02 yang diyakini menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Secara umum, perhitungan emisi gas rumah kaca dilakukan dengan menggunakan konsep neraca massa. Untuk menyederhanakan dan mempermudah perhitungan, digunakan suatu faktor pengali yang disebut dengan faktor emisi, yakni suatu nilai representatif yang menghubungkan kuantitas emisi yang dilepas ke atmosfer dengan aktivitas yang berkaitan dengan emisi tersebut. Emisi untuk industri secara garis besar dihasilkan oleh sumber-sumber yang berasal dari pemakaian energi berupa bahan bakar dan listrik, dan proses produksi dan limbah. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan tingkat emisi C02 spesifik dipatok maksimum 300 kg C02/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan hasil perhitungan tingkat emisi C02 yang dibuktikan dengan data penggunaan energi pada proses produksi pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan faktor emisi yang digunakan sebagai sumber energi.